Cerpen Sedih dan Romantis
Sai Love - Kumpulan cerpen sedih dan romantis, cerpen pendidikan,
Cerpen yang sedih dan romantis dari prawesthi. Bagi temen-temen ini cerita
pendek yang ingin aku share ke temen-temen, tentang kisah cerpen sedih dan romantis yang
berjudul Say Love...
Takdir, aku percaya itu sepenuhnya.Pertemuan dan perpisahan, adalah bagian dari
takdir. Tak ubahnya kebahagiaan yang menghampirimu saat kau bersama orang yang
kau sayangi. Tapi saat takdir itu membuatku menangis, jatuh, terpuruk, aku tak
ingin mempercayainya, aku ingin percaya bahwa itu hanyalah suatu kebetulan.
Tapi nyatanya, di dunia ini tidak ada kebetulan, hanya ada takdir...
Sore ini, kuintip jendela kelasku, kulihat semburat warna langit yang cerah
berwarna orange. Indah, tapi tak begitu kusuka, menurutku warnanya membuat
hatiku sendu, sedih. Ku berjalan dari ruang kelasku, melewati koridor menuju
halaman depan.
Tak terlalu kuperhatikan jalan maupun orang-orang di sekitarku yang berhamburan
ingin segera pulang ke rumah masing-masing, setelah kegiatan ekstrakurikuler
yang melelahkan, maupun karena jam tambahan.
Tiba-tiba, aku merasakan diriku menabrak sesuatu, bukan tembok, karena
kurasakan ada sebuah tangan yang menahan pinggangku hingga aku tak melesat ke
tanah. Lalu tangan itu membantuku membenarkan posisiku hingga aku berdiri
dengan normal lagi.
“Rose?” sosok familiar di depanku memberiku ekspresi penuh tanya, suaranya
begitu lembut dan perhatian
“Ah, Sam...” nadaku lemah, mungkin ekspresiku sangat buruk sekarang
“Kamu mau pulang?” seakan membaca pikiranku, ia tau bahwa aku tak ingin
membicarakan tentang hal yang akhir-akhir ini ditanyakan orang padaku, tentang
Nara.
“Iya, mungkin jalan kaki. Aku ngga bawa mobil hari ini.”
“Mau aku anter?”
“Tapi, aku lagi pengen jalan kaki.”
“Aku temani?”
“Mobilmu?”
“Aku telfon orang buat ngambil” ia menatapku lekat-lekat “ya?”
“Oke”
Lalu kami berjalan, diam, namun sama sekali bukan diam yang kikuk. Namun diam
yang seakan-akan memanggil kembali memori di masa kecil kami, saat kami selalu
pulang sekolah bersama, terkadang kami main hingga petang, lalu ia dimarahi
ibuku , tapi herannya ia selalu tertawa setelah dimarahi, seakan tidak menyesal
telah mengajakku bermain hingga petang. Dan lebih herannya lagi, ibuku pun
selalu mengijinkanku bermain bersamanya.
Dulu kami selalu bersama, bermain, sekolah, belajar di rumah, hampir setiap
waktu kami selalu bersama.
Masih tersimpan jelas di memoriku saat-saat ia selalu menjagaku, ia
melindungiku dari sekelompok anak nakal yang ingin merebut es krim-ku. Dengan
berani, ia menyuruh mereka untuk berhenti menggangguku, ia sangat berani,
walaupun tau ia kalah jumlah. Sebaliknya, aku sangat pengecut, hanya bisa menangis
dan mengintip dari balik bahunya. Mereka memang tidak jadi merebut es krim-ku,
namun sebagai gantinya mereka mengajak Sam berkelahi, keroyokkan. Mereka
mendorong Sam hingga menabrakku dan menjatuhkan es krim-ku, lalu aku menangis
keras, hingga merebut perhatian orang-orang, dan anak-anak itu pun kabur. Lalu
Sam menghampiriku dan berkata ‘Rose, maaf, es krim-mu jatuh. Aku beliin lagi
ya? Jangan nangis...’
Aku menghentikan langkahku saat kami tiba di sebuah taman yang dipenuhi bunga
matahari. Tempat ini belum berubah, tempat dimana dulu kami sering bermain
kemari saat masih duduk di bangku SD. Kupandangi hamparan bunga matahari yang
terlihat lebih indah saat terkena cahaya matahari yang hampir terbenam.
“Rose?” Sam menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiriku dan berhenti
tepat di hadapanku.
“Kamu inget ngga, dulu kita sering main kesini?” aku tersenyum lemah, mengingat
masa kecil kami. Ia mengangguk.
“Kamu ngga apa-apa kan?” raut wajahnya sama seperti biasa, raut wajah yang
selalu mengkhawatirkanku “Rose?”
“Nara-“ kurasakan kedua mataku panas, pandanganku kabur, dan baru sadar bahwa
aku sedang menangis saat kurasakan air mataku jatuh, membasahi pipiku. “Aku
putus sama dia...”
Ia menyodorkan sapu tangan padaku, lalu diusapnya pipiku menggunakan sapu
tangannya. “Aku tau...” jawabnya.
“Aku tau, papanya ngga pernah setuju sama hubungan kami. Tapi, dia ngga pernah
sekalipun nyoba buat ngeyakinin papanya, ngga pernah sekalipun ngijinin aku
buat ngambil hati papanya biar dia bisa nyetujuin hubungan kami.” Air mataku
mengalir deras tak terkendali “Akhirnya... Akhirnya dia lebih miilih buat
ninggalin aku. Padahal, kami sama sekali belum pernah nyoba buat ngeyakinin
papanya, belum pernah sekalipun...” setelah ia membiarkanku menangis untuk
beberapa saat, akhirnya ia mulai bicara...
“Rose... Aku senang kamu putus sama Nara.” Mataku terbelalak, nafasku tertahan
untuk sesaat, kupandangi ia dengan tatapan tak percaya.
“Sam??” kusipitkan mataku, menuntut jawaban.
“Aku senang kamu putus ama dia. Tapi, aku ngga bisa liat kamu sedih, nangis.”
Aku bingung, apa yang sedang ia bicarakan?’“Apa kamu inget? Dulu, waktu kita
kecil, kamu sering banget nangis. Tapi kamu langsung diem kalo aku kasih es
krim.” Ia tertawa kecil, lalu tersenyum dan memandangku lembut.
“Iya...” aku pun tersenyum, mengingat kembali memori tersebut dan mengabaikan
kebingunganku “Aku juga inget, dulu aku pernah jatuh pas kita main
kejar-kejaran. Lututku berdarah, trus nangis.” lalu Sam di masa kecil
menghampiriku dengan ekspresi penuh kekhawatiran ‘Rose? Sakit ya? Jangan
nangis...’ aku yang cengeng, bukannya diam malah menangis semakin keras. Lalu
ia menawarkanku untuk naik ke punggungnya ‘Ayo, aku gendong kamu pulang.’ Dan
ia benar-benar menggendongku ke rumah, namun berhenti di jalan untuk membelikanku
es krim, dan aku menikmati es krimku sembari digendong olehnya, melupakan rasa
sakit di lututku.
“Tapi kamu udah jarang nangis sejak masuk SMA. Sejak kamu kenal Nara, sejak
kamu mulai jauh dari aku, sejak kita ngga pernah main berdua lagi.”
“Sam...”
“Aku ngga tau, aku harus seneng ngeliat kamu bahagia, atau harus sedih kita
ngga bisa main bareng kaya dulu lagi.” Ia tersenyum sedih “yang aku tau, aku
ngga suka liat kamu nangis. Aku rela ngapain aja, mbeliin kamu es krim sebanyak
mungkin, atau apapun, asalkan kamu ngga nangis.”
“Kenapa?”
“Karena, kalo kamu sedih, aku juga sedih.” Ia menempelkan telapak tangan
kanannya pada dada kirinya “Di sini, jadi sakit.” Lalu diraihnya kedua
tanganku, dan ditatapnya mataku lekat-lekat “Aku ngga mau kamu sedih, Rosalie...”
Ia tetap sama dengan Samuel yang dulu, Samuel yang aku kenal sejak kami berumur
6 tahun, Samuel yang selalu mengkhawatirkanku, menjagaku, dan mengatakan
‘jangan nangis, Rose...’ atau ‘aku beliin es krim, ya?’ untuk membuatku
berhenti menangis. Lalu aku sadar, kalau selama ini aku melakukan kesalahan,
kesalahan yang tak termaafkan. Karena aku telah mengabaikannya selama dua
setengah tahun terakhir, walaupun aku tak berniat demikian. Aku hanya terlalu
sibuk dengan cinta pertamaku, Nara. Dan lambat laun aku semakin jauh dari Sam,
frekuensi pertemuan kami berkurang, dan akhirnya benar-benar tak saling bicara.
Benar-benar mengabaikannya, seseorang yang selalu ada di sampingku, yang selalu
mengkhawatirkanku, yang selalu menjagaku, seseorang yang ternyata sangat
kubutuhkan. Seseorang yang ternyata punya tempat di hatiku, bahkan menempati
posisi yang lebih penting dari Nara, pacar pertamaku.
“Bego...” tangisku semakin keras
“Eh???” kali ini dia benar-benar kebingungan. Kulepaskan kedua tanganku yang ia
genggam untuk menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya
“Kamu bego, Sam!!!”
“Hah?” kedua alisnya tertaut
“Kenapa ngga bilang kalo kamu suka sama aku???” kutoyor kepalanya dengan tangan
kananku, lalu aku tertawa, sambil menangis.
“Aku...” ia mengusap dahinya, kedua matanya memandangi tanah di bawah kami.
Pipinya memerah.
“Hahahahaaa”
“Apa?” ia memandangiku lagi, pipinya masih merah.
“Ekspresimu sekarang persis cewek-cewek pemalu yang ada di komik waktu ketemu
cowok yang disukai.” Kuseka air mataku, entah air mata kesedihan yang tadi,
atau air mata akibat aku menertawainya.
“Aku suka kamu” kali ini pipinya sudah tidak lagi memerah, ia memandangku
lekat-lekat lagi. Aku berhenti tertawa, lalu tersenyum, kupandangi kedua
matanya, lalu aku menghambur ke pelukkannya, dan kembali menangis.
“Bego!!!”
“Lho?” meskipun bingung, namun ia balas memelukku, kemudian tersenyum, dan aku
tau aku tidak perlu menjawab pernyataan suka darinya, aku tau ia akan selalu
ada di sisiku (kali ini di pelukkanku), menjagaku seperti biasa, melindungiku,
menghiburku agar tidak menangis..... “Kamu mau es krim?” kujawab pertanyaannya
dengan senyuman, dan kugandeng tangannya, lalu kami berjalan pulang
(kami mampir ke toko es krim di perjalanan pulang).
Sekian teman-temen kisah cerpen sedih dan romantis tantang
bagaimana mengatakan Say Love, nantikan tulisan yang selanjutnya :)
Takdir, aku percaya itu sepenuhnya.Pertemuan dan perpisahan, adalah bagian dari takdir. Tak ubahnya kebahagiaan yang menghampirimu saat kau bersama orang yang kau sayangi. Tapi saat takdir itu membuatku menangis, jatuh, terpuruk, aku tak ingin mempercayainya, aku ingin percaya bahwa itu hanyalah suatu kebetulan. Tapi nyatanya, di dunia ini tidak ada kebetulan, hanya ada takdir...
Sore ini, kuintip jendela kelasku, kulihat semburat warna langit yang cerah berwarna orange. Indah, tapi tak begitu kusuka, menurutku warnanya membuat hatiku sendu, sedih. Ku berjalan dari ruang kelasku, melewati koridor menuju halaman depan.
Tak terlalu kuperhatikan jalan maupun orang-orang di sekitarku yang berhamburan ingin segera pulang ke rumah masing-masing, setelah kegiatan ekstrakurikuler yang melelahkan, maupun karena jam tambahan.
Tiba-tiba, aku merasakan diriku menabrak sesuatu, bukan tembok, karena kurasakan ada sebuah tangan yang menahan pinggangku hingga aku tak melesat ke tanah. Lalu tangan itu membantuku membenarkan posisiku hingga aku berdiri dengan normal lagi.
“Rose?” sosok familiar di depanku memberiku ekspresi penuh tanya, suaranya begitu lembut dan perhatian
“Ah, Sam...” nadaku lemah, mungkin ekspresiku sangat buruk sekarang
“Kamu mau pulang?” seakan membaca pikiranku, ia tau bahwa aku tak ingin membicarakan tentang hal yang akhir-akhir ini ditanyakan orang padaku, tentang Nara.
“Iya, mungkin jalan kaki. Aku ngga bawa mobil hari ini.”
“Mau aku anter?”
“Tapi, aku lagi pengen jalan kaki.”
“Aku temani?”
“Mobilmu?”
“Aku telfon orang buat ngambil” ia menatapku lekat-lekat “ya?”
“Oke”
Lalu kami berjalan, diam, namun sama sekali bukan diam yang kikuk. Namun diam yang seakan-akan memanggil kembali memori di masa kecil kami, saat kami selalu pulang sekolah bersama, terkadang kami main hingga petang, lalu ia dimarahi ibuku , tapi herannya ia selalu tertawa setelah dimarahi, seakan tidak menyesal telah mengajakku bermain hingga petang. Dan lebih herannya lagi, ibuku pun selalu mengijinkanku bermain bersamanya.
Dulu kami selalu bersama, bermain, sekolah, belajar di rumah, hampir setiap waktu kami selalu bersama.
Masih tersimpan jelas di memoriku saat-saat ia selalu menjagaku, ia melindungiku dari sekelompok anak nakal yang ingin merebut es krim-ku. Dengan berani, ia menyuruh mereka untuk berhenti menggangguku, ia sangat berani, walaupun tau ia kalah jumlah. Sebaliknya, aku sangat pengecut, hanya bisa menangis dan mengintip dari balik bahunya. Mereka memang tidak jadi merebut es krim-ku, namun sebagai gantinya mereka mengajak Sam berkelahi, keroyokkan. Mereka mendorong Sam hingga menabrakku dan menjatuhkan es krim-ku, lalu aku menangis keras, hingga merebut perhatian orang-orang, dan anak-anak itu pun kabur. Lalu Sam menghampiriku dan berkata ‘Rose, maaf, es krim-mu jatuh. Aku beliin lagi ya? Jangan nangis...’
Aku menghentikan langkahku saat kami tiba di sebuah taman yang dipenuhi bunga matahari. Tempat ini belum berubah, tempat dimana dulu kami sering bermain kemari saat masih duduk di bangku SD. Kupandangi hamparan bunga matahari yang terlihat lebih indah saat terkena cahaya matahari yang hampir terbenam.
“Rose?” Sam menghentikan langkahnya, lalu berjalan menghampiriku dan berhenti tepat di hadapanku.
“Kamu inget ngga, dulu kita sering main kesini?” aku tersenyum lemah, mengingat masa kecil kami. Ia mengangguk.
“Kamu ngga apa-apa kan?” raut wajahnya sama seperti biasa, raut wajah yang selalu mengkhawatirkanku “Rose?”
“Nara-“ kurasakan kedua mataku panas, pandanganku kabur, dan baru sadar bahwa aku sedang menangis saat kurasakan air mataku jatuh, membasahi pipiku. “Aku putus sama dia...”
Ia menyodorkan sapu tangan padaku, lalu diusapnya pipiku menggunakan sapu tangannya. “Aku tau...” jawabnya.
“Aku tau, papanya ngga pernah setuju sama hubungan kami. Tapi, dia ngga pernah sekalipun nyoba buat ngeyakinin papanya, ngga pernah sekalipun ngijinin aku buat ngambil hati papanya biar dia bisa nyetujuin hubungan kami.” Air mataku mengalir deras tak terkendali “Akhirnya... Akhirnya dia lebih miilih buat ninggalin aku. Padahal, kami sama sekali belum pernah nyoba buat ngeyakinin papanya, belum pernah sekalipun...” setelah ia membiarkanku menangis untuk beberapa saat, akhirnya ia mulai bicara...
“Rose... Aku senang kamu putus sama Nara.” Mataku terbelalak, nafasku tertahan untuk sesaat, kupandangi ia dengan tatapan tak percaya.
“Sam??” kusipitkan mataku, menuntut jawaban.
“Aku senang kamu putus ama dia. Tapi, aku ngga bisa liat kamu sedih, nangis.” Aku bingung, apa yang sedang ia bicarakan?’“Apa kamu inget? Dulu, waktu kita kecil, kamu sering banget nangis. Tapi kamu langsung diem kalo aku kasih es krim.” Ia tertawa kecil, lalu tersenyum dan memandangku lembut.
“Iya...” aku pun tersenyum, mengingat kembali memori tersebut dan mengabaikan kebingunganku “Aku juga inget, dulu aku pernah jatuh pas kita main kejar-kejaran. Lututku berdarah, trus nangis.” lalu Sam di masa kecil menghampiriku dengan ekspresi penuh kekhawatiran ‘Rose? Sakit ya? Jangan nangis...’ aku yang cengeng, bukannya diam malah menangis semakin keras. Lalu ia menawarkanku untuk naik ke punggungnya ‘Ayo, aku gendong kamu pulang.’ Dan ia benar-benar menggendongku ke rumah, namun berhenti di jalan untuk membelikanku es krim, dan aku menikmati es krimku sembari digendong olehnya, melupakan rasa sakit di lututku.
“Tapi kamu udah jarang nangis sejak masuk SMA. Sejak kamu kenal Nara, sejak kamu mulai jauh dari aku, sejak kita ngga pernah main berdua lagi.”
“Sam...”
“Aku ngga tau, aku harus seneng ngeliat kamu bahagia, atau harus sedih kita ngga bisa main bareng kaya dulu lagi.” Ia tersenyum sedih “yang aku tau, aku ngga suka liat kamu nangis. Aku rela ngapain aja, mbeliin kamu es krim sebanyak mungkin, atau apapun, asalkan kamu ngga nangis.”
“Kenapa?”
“Karena, kalo kamu sedih, aku juga sedih.” Ia menempelkan telapak tangan kanannya pada dada kirinya “Di sini, jadi sakit.” Lalu diraihnya kedua tanganku, dan ditatapnya mataku lekat-lekat “Aku ngga mau kamu sedih, Rosalie...” Ia tetap sama dengan Samuel yang dulu, Samuel yang aku kenal sejak kami berumur 6 tahun, Samuel yang selalu mengkhawatirkanku, menjagaku, dan mengatakan ‘jangan nangis, Rose...’ atau ‘aku beliin es krim, ya?’ untuk membuatku berhenti menangis. Lalu aku sadar, kalau selama ini aku melakukan kesalahan, kesalahan yang tak termaafkan. Karena aku telah mengabaikannya selama dua setengah tahun terakhir, walaupun aku tak berniat demikian. Aku hanya terlalu sibuk dengan cinta pertamaku, Nara. Dan lambat laun aku semakin jauh dari Sam, frekuensi pertemuan kami berkurang, dan akhirnya benar-benar tak saling bicara. Benar-benar mengabaikannya, seseorang yang selalu ada di sampingku, yang selalu mengkhawatirkanku, yang selalu menjagaku, seseorang yang ternyata sangat kubutuhkan. Seseorang yang ternyata punya tempat di hatiku, bahkan menempati posisi yang lebih penting dari Nara, pacar pertamaku.
“Bego...” tangisku semakin keras
“Eh???” kali ini dia benar-benar kebingungan. Kulepaskan kedua tanganku yang ia genggam untuk menutup wajahku dan menangis sejadi-jadinya
“Kamu bego, Sam!!!”
“Hah?” kedua alisnya tertaut
“Kenapa ngga bilang kalo kamu suka sama aku???” kutoyor kepalanya dengan tangan kananku, lalu aku tertawa, sambil menangis.
“Aku...” ia mengusap dahinya, kedua matanya memandangi tanah di bawah kami. Pipinya memerah.
“Hahahahaaa”
“Apa?” ia memandangiku lagi, pipinya masih merah.
“Ekspresimu sekarang persis cewek-cewek pemalu yang ada di komik waktu ketemu cowok yang disukai.” Kuseka air mataku, entah air mata kesedihan yang tadi, atau air mata akibat aku menertawainya.
“Aku suka kamu” kali ini pipinya sudah tidak lagi memerah, ia memandangku lekat-lekat lagi. Aku berhenti tertawa, lalu tersenyum, kupandangi kedua matanya, lalu aku menghambur ke pelukkannya, dan kembali menangis.
“Bego!!!”
“Lho?” meskipun bingung, namun ia balas memelukku, kemudian tersenyum, dan aku tau aku tidak perlu menjawab pernyataan suka darinya, aku tau ia akan selalu ada di sisiku (kali ini di pelukkanku), menjagaku seperti biasa, melindungiku, menghiburku agar tidak menangis..... “Kamu mau es krim?” kujawab pertanyaannya dengan senyuman, dan kugandeng tangannya, lalu kami berjalan pulang
(kami mampir ke toko es krim di perjalanan pulang).
Sekian teman-temen kisah cerpen sedih dan romantis tantang bagaimana mengatakan Say Love, nantikan tulisan yang selanjutnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar