Sabtu, 01 Juni 2013

Cerita Cinta Orang Ketiga

Cerita Cinta Orang Ketiga
Bandung masih saja terlihat sama . Masih sama seperti ketika empat tahun yang lalu saya meninggalkannya. Meski cukup banyak perubahan

yang terjadi di sana-sini, Bandung masih sama. Aroma kenangan masih terasa dalam setiap derap langkah saya.

Ciwalk, 10.13 AM

Saya berjalan menyusuri tiap blok toko pernak-pernik. Mencari sesuatu yang mungkin menarik. Yang mungkin bisa membuat saya simpatik.

Tiba-tiba mata saya menangkap sebuah benda unik. Membuat kenangan kembali memercik.

“Empat puluh dua ribu lima ratus. Terima kasih.”kata kasir seraya menyerahkan sebuah bungkusan. Di dalam bungkusan itu berjuta

kenangan saya tentang Bandung tersimpan. Masih lekat dalam ingatan bagaimana dia memberikan. Dan lalu setelah sekian lama harus saya

kembalikan. Hanya karena sebuah pengakuan.

Saya beri nama Miiko, pemberian itu. Boneka kucing mungil dengan matanya yang biru. Saya tak pernah suka boneka kecuali itu. Boneka

kucing bermata biru. Yang tatapannya haru. Seperti tatapan saya saat melepaskannya kembali kepada yang memberikannya dulu.

Cicaheum, 01.22 PM

Hujan rintik mulai menderas. Membuat saya harus berteduh di sebuah teras. Saya bingung akan ke mana. Tak tahu harus naik apa. Tiba-

tiba di hadapan saya berhenti sebuah angkutan kota. Warnanya merah muda. Tanpa berpikir untuk kali kedua, saya menaikinya.

Saya menghempaskan diri di kursi sebelah supir. Berharap dapat membuat semua penat pergi terusir. Lalu menyalakan sebatang rokok

untuk menghangatkan diri. Dan mendengar sang supir menasehati.

“Merokok nggak baik untuk kesehatan, Non !”tegur supir itu. Bahasa Indonesianya kaku. Namun, suaranya terdengar sama. Sama seperti

dia. Tiba-tiba saya jadi mengingatnya. Dia, di Bandung… saya di kota yang sama dengannya.

“Tapi, merokok bisa membuat saya melupakan kesedihan saya, Mang.”jawab saya sambil menghisap dalam-dalam rokok di kepitan jari. Lalu

menghembus asapnya dan mencoba menikmatinya lagi. Sang supir berdiam diri. Mungkin enggan berdebat dengan penumpangnya yang hanya

satu-satunya ini.

“Namira…”suara Dade tiba-tiba berdengung di telinga saya. Memanggil nama saya dengan fasihnya. Saya harap itu mimpi belaka. Saya

mohon itu tidak nyata. Ternyata Dade ada di sebelah saya.

* * *

Kami lalu banyak bertukar cerita. Dade juga banyak bertanya. Bagaimana Amerika, katanya. Kapan saya sampai di Jakarta, mengapa saya

di Bandung sendirian saja. Dan untuk apa.

Saya tak selalu menjawab pertanyaannya. Sepertinya ada yang mencekal kerongkongan saya. Menahan setiap kata yang ingin saya ucap

padanya. Sepertinya ada yang melakukannya. Hingga saya berdiam tanpa menjawab apa-apa.

“Mampirlah ke rumah kapan-kapan.”ujarnya mengundang kehadiran saya. Saya hanya mengangguk untuk menyanggupinya. Entah saya

benar-benar sudah sanggup atau tidak, untuk melihat realitanya. Menemui Dade dan istrinya dan anaknya. Melihat realita kalau semua

sudah berbeda. Dulu, cuma cerita. Kenangan saya bersama dia tak akan lagi pernah ada.

* * *

Rumah, 01.57 PM

Mama dan papa sudah lebih dulu sampai dari Jakarta. Dengan peluk hangatnya menyambut saya. Ada juga Kak Reihan, yang langsung

memberikan handuk pada saya. Membantu saya mengeringkan badan yang sudah kuyup oleh hujan. Menanyai saya dengan banyak

kekhawatiran. Menyesali karena ia tak mengantarkan.

Suasana Bandung yang begitu saya rindukan. Yang sempat hilang empat tahun belakangan. Amerika hanya pelarian. Pelarian sakit hati.

Pelarian tikaman benci. Pelarian tangisan sepi. Amerika bukan tempat di mana saya ingini. Namun, saya tak sanggup di sini.

Tapi sebelumnya, masih ada yang harus saya lakukan. Yang hanya bisa di Bandung saya wujudkan. Ini penyelesaian yang tertahan.

Penyelesaian yang harus diselesaikan. Oleh saya. Oleh dia. Oleh mereka.

* * *

Cigending, (esok hari) 09.14 AM

Rumah sederhana itu berdiri dengan damainya. Seolah-olah penghuninya begitu bahagia. Saya iri melihatnya, karena itu bukan rumah saya.

Tapi tak berarti saya tak bahagia. Saya bahagia dengan rumah megah saya. Sangat bahagia.

Seorang anak lelaki menghampiri saya. Menanyakan pada saya ada perlu apa. Dengan suara cadel-nya. Seperti yang diajarkan ayah dan

ibunya. Lalu pintu rumah terbuka. Anak lelaki itu berlari ke dalamnya. “Papa…” katanya. Dan saya lihat Dade di sana.

“Ira ?!” setengah terkejut Melani menatap saya. Seolah-olah saya hantu yang sangat ditakutinya. Tapi saya dapat mengerti perasaannya.

Adakah wanita yang suka, jika suaminya mengundang mantan pacarnya ? Jawabannya mutlak : TIDAK, dengan huruf kapital semua.

“Hai, Mey…”sapaku sambil tersenyum. Menunggu sampai dipersilakan masuk ke dalam. Meskipun sinar matahari pagi menghangatkan badan.

Untuk berdiri di teras, saya enggan.

Keadaan rumah itu tak lebih baik dari rumah Melani. Entahlah, saya baru pertama kali ke sini. Tapi dibandingkan rumah Melani yang dua

kali lipat rumah megah saya. Bangunan kecil ini tidak ada apa-apanya. Entah apa yang dicari Melani dari dia. Mungkin kasih sayang yang

hilang. Mungkin pegangan di saat gamang.

* * *

Cigending, 03.15 PM

Akhirnya mereka menjelaskan semuanya. Menjelaskan apa yang seharusnya saya tahu empat tahun lalu. Ternyata, tak seperti sangkaan

saya. Ternyata saya yang harusnya tahu. Kalau Melani dan Dade adalah sepasang kekasih. Kalau perjodohan yang dibuat Melani adalah

ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih karena Dade dan dia pernah punya kisah.

Sebagai ganti dirinya Melani lalu mengirimkan saya. Saya yang tidak tahu apa-apa. Yang sama sekali tak mengerti jalan ceritanya. Saya, di

sana sebagai orang ketiga dalam hubungan mereka. Yang seharusnya dipersalahkan atas kehadiran saya. Cinta yang saya punya. Saya :

ORANG KETIGA.

Teras rumah Dade, 01.58 AM

Malam ini saya menginap. Entah apa yang saya harap. Padahal saya hanya orang ketiga. Perusak hubungan rumah tangga. Seorang yang sama

sekali tak diharapkan kehadirannya. Saya… Namira.

Sebatang rokok mulai saya sulut. Berharap langit mau menyahut. Setiap pertanyaan saya yang rancu. Tak ada yang punya jawab untuk itu.

Bahkan saya. Bahkan dia. Bahkan mereka. Tapi DIA tahu. Karena Tuhan Maha Tahu.

“Sejak kapan kamu merokok, Ra ?”tanya Dade yang lalu duduk di kursi sebelah saya. Sembilan belas, saya menjawabnya santai saja. Tanpa

harus merasa berdosa ataupun bangga. Karena saya jamin dia tak akan berani menanyakan kenapa.

“Sekarang umurmu 23, Ra.”kata Dade, entah dengan maksud apa. Saya tahu, dan umurmu tiga puluh tujuh, seru saya. Cuma dalam hati saja.

Dade menatap saya lama. Sesaat seperti memiliki waktu, kembali ke empat tahun lalu.

“Tidak bisa !”saya menepis tangannya di wajah saya. Bayangan Kak Reihan memenuhi benak saya. Segera saya mengambilnya dan

meyerahkannya pada dia. Dade cuma terdiam menatapnya. Dia tidak menatap saya. Dia hanya diam seperti empat tahun lalu. Ketika dia

memberitahu. Melani hamil karena dia.

“Itu hanya contoh. Saya belum bikin untuk disebar.”ujar saya. Namun tiba-tiba Dade mengambil rokok saya. Menyulut dan menyalakannya.

Perlahan, mulai mengisapnya.

Saya tak mengira. Saya pikir Dade tidak suka. Dengan rokok dan segala macamnya. Saya pikir rokok seperti saya. Ternyata, lagi-lagi saya

salah terka.

“Kalau kamu rokok, aku akan menyukainya meskipun membenci asapnya. Tapi, aku menyesali pernah menyukaimu sama seperti aku menyesali

perbuatan bodohku bersama Mey. Waktu berlalu, Ra ! Waktu bersama kamu, nggak ada yang bohong tentang perasaanku. Kamu benar-

benar bisa membuatku melupakan Mey. Menggantikannya bahkan lebih…”Dade bicara berceloteh. Sebelum selesai dia berkata, saya

memotongnya.

“Bagaimanapun itu dulu. Sekarang yang ada hanya : Dade dan Melani, Namira dan Reihan. Semuanya selesai. Besok sore saya berangkat ke

Jakarta. Kamu nggak usah memikirkan saya lagi. Pikirkan, anakmu dan Melani yang sedang hamil tua.”kataku seraya menyundut rokok ke

asbak dan kembali ke kamar.

* * *

Dalam mobil, 04.19 PM (menuju Jakarta)

Di dalam mobil bersama Kak Reihan. Rasanya seperti bermain peran. Saya merasa berada dalam konflik cinta CINTAPUCCINO. Hanya

saja, dia yang saya punya tak seberarti NIMO. Dade hanya sepenggal kisah dalam waktu. Yang lambat laun akan berlalu.

BANDUNG hari ini, terlalu cerah untuk sang abu-abu. Terlalu terik untuk sang rintik. Terlalu bahagia untuk duka. Terlalu manis untuk

pahit, terlalu banyak senyuman untuk menangis. Bandung hari ini, apa dia tahu ? Apa dia merasa ? Bandung hari ini...cinta itu sudah tiada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar